Imam al-Syafi’i bisa dikatakan sebagai tokoh yang paling berjasa dalam meletakkan fondasi dasar ilmu Ushul Fiqih. Bukunya, Risalah adalah buku pertama yang pernah ditulis dalam bidang ini. Fakhruddin al-Razi menyamakan Imam Syafi’i dengan Aristotle dalam logika, dan dengan al-Khalil bin Ahmad dalam prosody (ilmu persajakan). (Lihat, Fakhr al-Din al-Razi, Manaqib al-Imam al-Shafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993)).
Menurut Jamal Barut, jasa besar Imam Syafi’i sebenarnya terletak pada keberhasilannya mentransfomasikan usul fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu. (Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysuni and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtihad: al-nass, al-waqi‘, al-maslahah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘asir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000)).
Sementara itu Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam bukunya, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, memposisikan Imam Syafi’i sama seperti Descartes, ahli filsafat yang paling bertanggung jawab meletakkan dasar metodologi pemikiran Barat. Memang ada yang meragukan pendapat ini. Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi’i was the first legal thinker who introduced the principles of law would not seem to be correct.” (Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad, Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994). Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wasil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali menulis tentang usul fiqh. (Ibid).
Tapi, bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, bahwa Imam al-Syafi’i adalah tokoh dan ulama besar dalam bidang Ushul Fiqh. Jasa besarnya terletak pada keberhasilannya mensistimasikan dan selanjutnya mentransfromasikan pola pikir ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang dikenal hari ini dengan Ushul Fiqh. Seperti yang diutarakan N.J. Coulson, dalam A History of Islamic Law, teori Ushul Fiqh Syafi’i “was an innovation whose genius lay not in the introduction of any entirely original concepts, but in giving existing ideas a novel connotation and emphasis and welding them together within a systematic scheme.” Dengan nada yang sama Joseph Schacht berkomentar bahwa Risalah Syafi’i adalah “a magnificently consistent system and superior by far to the doctrines of ancients schools of law”. (Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press, 1959).
Sebenarnya, Ushul Fiqh sangat erat kaitannya dengan persoalan epistemologis. Hal yang mendorong Imam Syafi’i menuliskan karya agungnya, al-Risalah, adalah juga pertimbangan epistemologis. Yakni, Imam Syafi’i ingin ‘mendamaikan’ konflik antara kubu ‘Iraq yang biasa disebut dengan ahl ra’y dan kelompok ahl Hijaz dikenal dengan ahl Hadith. Imam Syafi’i ingin mensintesakan pendekatan kedua mazhab pemikiran ini. Ia ingin membuktikan bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal. Wahyu dalam hal ini termasuk Hadith merupakan sumber otoritatif dalam hukum Islam, demikian juga akal. Tapi apa fungsi akal, kapan dia berfungsi, dan apa batasan fungsinya, inilah yang dijelaskan al-Syafi’i dalam Risalah.
Oleh sebab itu, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa yang pertama sekali meletakkan dasar epistemologis pemikiran Islam itu sesungguhnya adalah Imam al-Syafi’i melalui magnum opus-nya al-Risalah. Sebab, Syafi’ilah yang pertama sekali memformulasikan teori hirarkis sumber hukum dan sekaligus sumber keilmuan dalam perspektif Islam. Dia menuliskan “wajihah al-‘ilm al-khabar fi al-kitab aw al-sunnah aw al-Ijma’ aw al-Qiyas.” Artinya: ilmu diperoleh malalui khabar; al-Qur’an atau Sunnah, kemudian Ijma’ dan Qiyas.” (Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Rislah, diedit oleh Ahmad Muhammad Syakir (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, TT)).
Bentuk hirarkis seperti ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu itu berdasarkan otoritas. Maka sumber ilmu yang paling otoritatif dan reliable dalam Islam adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah, kemudian kesepakatan ‘ulama (ijma’) dan selanjutnya akal. Sunnah tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an dan demikian juga ima’ dan akal tidak mungkin betentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kalaupun dikatakan ada konflik, menurut Syafi’i itu hanya zahirnya saja. Karena pada dasarnya tidak mungkin ada konflik antara sumber-sumber ilmu ini.
Untuk menjelaskan inilah, maka Imam al-Syafi’i mengembangkan teori interpretasi al-Qur’an dimana ia menjelaskan tentang teori ‘am dan khas, zahir dan batin, nasikh dan mansukh, dan seterusnya. Maka terkadang ada ayat dalam bentuk umum, tapi yang dimaksudkan yang lebih spesifik, atau bentuk umum tapi dimaksudkan kedua-duanya sekali. Demikianlah seterusnya, al-Syafi’i menjabarkan koherensi al-Quran dengan sumber-sumber ilmu yang lain.
Sebagai sosok yang pantas digelari sang “Mujaddid” Imam al-Syafii bukan saja dikenal dalam dan luas ilmuanya. Akhlak dan kepribadiannya juga sangat mengagumkan. Ibadahnya luar biasa. Imam Syafii sendiri bercerita, ia lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di Baitullah, beliau menghafal al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra Arab, termasuk syair. Selama bertahun-tahun, Syafi’i kecil belajar bahasa di tengah suku Hudzail, yang dikenal sangat fasih bahasa Arabnya.
Sang Imam sudah menghafal al-Quran saat berumur 7 tahun, dan hafal Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik pada umur 10 tahun. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur dan mendapatkan pengakuan yang luas. Pada umur 18 tahun, beliau sudah diminta oleh para ulama agar memberikan fatwa. Itu berarti pengakuan atas statusnya sebagai seorang mujtahid. Meskipun memiliki sejumlah perbedaan pendapat, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui, Imam Syafii adalah seorang yang sangat memahami al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Ia tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits. Kata Imam Ahmad : ‘’Tidak seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada Imam Syafii.’’
Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Di bulan Ramadhan, beliau sanggup mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali dalam shalat. Sang Imam pun dikenal ahli ibadah dan sangat sedikit tidurnya. Selama kurun waktu 16 tahun, misalnya, beliau hanya pernah makan sampai kenyang, satu kali saja, dan kemudian disesalinya, karena berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah. Kedermawanan Imam Syafii juga luar biasa. Pernah beliau sampai bangkrut tiga kali, menjual harta sampai perhiasan istrinya, hanya untuk menolong orang yang membutuhkan. Jangan ditanya, bagaimana kegigihan Imam Syafii dalam belajar dan mengajarkan ilmunya.
Inilah profil tokoh yang pantas digelari sebagai Sang Mujaddid. Dia bukan orang sembarangan, yang asal-asalan berpendapat.
0 komentar :
Posting Komentar