Harus Jadi Orang Kaya

Label: , ,


Imam Ahmad meriwayatkan, Abdurrahman menceritakan kepada kami, Musa bin Ali menceritakan kepada kami, dari ayahnya yang berkata, ”Aku mendengar Amr bin Al-Ash berkata, ”Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus orang untuk menyuruhku mengahadap dan beliau berpesan ”pakai pakaian dan persenjataanmu lalu menghadap kepadaku!”


          Aku pun menghadap beliau ketika beliau sedang berwudhu, beliau menaikkan pandangan kepadaku lalu menurunkannya (melihat dari atas ke bawah), kemudian beliau bersabda, “Wahai ‘Amr, sesungguhnya aku ingin mengutusmu memimpin sebuah pasukan, sehingga Allah memberhasilkanmu mendapat ghanimah (rampasan perang) dan menyelamatkanmu. Aku memotivasi dirimu agar mendapat harta yang baik.”

          Aku pun berkata, “Ya Rasulullah, saya masuk Islam bukan karena ingin harta melainkan memang karena ingin Islam dan bersama dengan sang utusan Allah shallallaahu 'alaihi wa sallam.”
          Beliaupun bersabda,

يَا عَمْرُو، نِعِمَّا بِالْمَالِ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

“Wahai Amr, alangkah baiknya harta yang baik itu dimiliki oleh orang yang baik.”[1] 

Tinjauan sanad:
  1. Abdurrahman di sini adalah Ibnu Mahdi, hafizh yang tsiqah cukup terkenal tak perlu repot mencari tautsiq untuknya.
  2. Musa bin Ulay bin Rabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar menilainya shaduq (jujur) ada kemungkinan salah. Dia adalah perawi yang dipakai oleh Muslim dan sunan yang empat serta Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Tapi para ulama mutaqaddimin seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Al-Ijli dan Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, Abu Hatim mengatakannya, ”Dia adalah orang yang shaleh, sangat hafal dengan haditsnya tidak mengurangi dan tidak menambah, dia termasuk orang-orang tsiqah yang ada di Mesir.” Dengan demikian Musa bin Ulay ini tsiqah. Dia memang biasa mendengar hadits dari ayahnya sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal.[2]
  3. Ulay bin Rabah Al-Lakhmi adalah perawi yang dipakai dalam Shahih Muslim dan sunan yang empat serta Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Al-Hafizh Ibnu Hajar menganggapnya tsiqah, Al-Ijli mengatakan dia adalah seorang tabi’i yang tsiqah, Ibnu Hibban juga memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat dan Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi memasukkannya dalam golongan tabi’in yang tsiqah. Dia memang biasa mendengar hadits dari Amr bin Al-Ash riwayatnya dari Amr bin Ash ada dalam shahih Muslim.[3]
          Dengan demikian sanad ini shahih berdasarkan syarat Muslim.

Takhrij:
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya (no. 3210), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 2130), Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar (no. 6056), Ath-Thabarani dalam Al-Awsath (no. 3213), Al-Qudha’i dalam musnadnya (no. 1315). Semua mereka bermuara pada Musa bin Ulay bin Rabah.

          Sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di atas sungguh agung untuk kita renungkan. Yah, harta memang bagai pisau bermata dua, dia bisa dipergunakan untuk kebaikan bisa pula kejahatan. Bila dia jatuh ke tangan orang yang baik maka kebaikanlah yang akan ditimbulkannya, tapi bila dia dalam genggaman orang jahat maka dunia akan merasakan dampak buruknya.

          Ungkapan beliau ”harta yang baik dimiliki oleh orang yang baik” menunjukkan ada dua syarat harta itu membawa dampak baik dalam kehidupan:
  1. Didapatkan dengan cara baik atau diridhai Allah
  2. Dikuasai oleh orang yang taat kepada Allah
          Makanya dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ، وَالصِّحَّةُ لِمَنْ
اتَّقَى اللهَ خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى، وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

”Tidak ada masalah dalam kekayaan bagi orang yang bertakwa, dan kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih baik daripada kekayaan. Berjiwa lapang itu merupakan suatu kenikmatan.”[4] 

          Ketika orang yang shaleh itu kaya maka duniapun makmur karenanya. Lihatlah bagaimana keadaan umat manusia ketika dipimpin sang Nabi yang kaya raya Sulaiman ’alaihis salam. Kehidupan bagai surga dunia, ketenteraman di mana-mana, banyak orang yang sejahtera.

          Sebaliknya, kalau harta dimiliki oleh orang-orang bejat, maka dia juga akan dipergunakan untuk pemuasan hawa nafsu, sehingga dunia merasakan dampak buruk. Banyak masalah yang terjadi, kejahatan di mana-mana, orang-orang kecil hidup menderita, hanya karena kerakusan segelintir manusia berhati hewan yang menggunakan harta demi meraih kepuasan, tak peduli berapapun dan siapapun yang menjadi korban.

          Makanya, orang shaleh yang kaya lebih baik daripada orang shaleh yang miskin, karena si kaya dapat melaksanakan ibadah materil yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang miskin. Itu terungkap dalam hadits dari Abu Hurairah ra yang menceritakan bahwa orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka mengadu, “Orang-orang kaya telah mendapatkan derajat yang tinggi dan kenikmatan yang lestari.”

Rasulullah bertanya, “Kenapa bisa begitu?”

Mereka berkata, “Mereka juga shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa layaknya kami puasa, tapi mereka bisa bersedekah sedangkan kami tidak, mereka bisa memerdekakan budak sedang kami tidak.”
Rasulullah berkata, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang bisa melampui amalan orang sebelum dan sesudah kalian, dan tak ada yang bisa melampaui amal kalian itu kecuali orang yang mengamalkan amalan yang sama?”

Mereka berkata, “Tentu ya Rasulullah.”

Beliau melanjutkan, “Hendaklah kalian bertasbih, bertakbir dan bertahmid tiap kali selesai shalat sebanyak 33 kali.”
          Abu Shalih (perawi dari Abu Hurairah) menambahkan, “Lalu orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin tadi kembali mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengadu, “Ya Rasulullah, teman-teman kami orang-orang kaya ini mengetahui apa yang kami amalkan dan mereka mengamalkannya juga.”

Akhirnya Rasulullah bersabda, “Yah, itulah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

(HR. Muslim, no. 595 dengan redaksi di atas, dan Al-Bukhari, no. 843 tanpa tambahan dari Abu Shalih).
         
Akhirnya, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengakui bahwa memang orang kaya punya keutamaan daripada orang miskin.

          Jadi, ada baiknya kita menjadi orang kaya, tapi kaya dengan cara yang diridhai Allah dan ketika kaya menjadi hamba Allah yang diridhai pula.

Ayo siapa mau jadi orang kaya.


[1] Musnad Ahmad, no. 17763.
[2] Lihat At-Taqrib 2/151, no. 7872, Tahdzib Al-Kamal 29/122, no. 6284, Al-Jarh wa At-Ta’dil  8/153-154, Ats-Tsiqat oleh Al-Ijli 2/305, no. 1821.
[3] At-Taqrib 1/463, no. 5313, Tahdzib Al-Kamal 20/426, no. 4067, Ats-Tsiqat oleh Al-Ijli 2/153, Ats-Tsiqat Ibnu Hibban 5/161, no. 4373,
[4] HR. Ahmad, no. 23158 Al Arnauth mengatakan sanadnya hasan. Ibnu Majah, no. 2141, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2131 dan dia katakan sanadnya shahih. Ini disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 174.

0 komentar :

Posting Komentar